Sabtu, 26 Mei 2018

Saksi Bisu Sejarah, Keistimewaan Al Osmani, Masjid Tertua di Medan




kolomwarta-Tanah Melayu adalah wilayah yang kental dengan kejayaan Islam. Salah satunya yang masih berdiri tegak di Jalan K L Yos Sudarso, Kelurahan Pekanlabuhan, Kecamatan Medanlabuhan, Kota Medan, Sumatera Utara, adalah Masjid Al Osmani.

Masjid cantik yang terkenal dengan nama Masjid Labuhan ini berada di tepi jalan yang padat kendaraan, sekitar 21 kilometer jaraknya dari pusat Kota Medan.

Warna  yang mencolok dan khas melayu, membuat para pengguna jalan yang melintas tertarik untuk melihat ke masjid berwarna kuning ini.  Keelokan masjid  di kawasan Medan Utara ini tidak memudar meski usianya sudah menginjak 164 tahun.

Masjid Al Osmani adalah rumah ibadah Islam tertua di Kota Medan, buah tangan arsitek Jerman GD Langereis.

Sultan Deli Mahmud Perkasa Alam yang tak lain putra kandung Sultan Osman Perkasa Alam saat itu meminta Langereis merenovasi masjid yang masih berbentuk bangunan sederhana dari kayu dalam tempo tiga bulan.
Permintaan sultan dipenuhi , dibuktikan dengan lahirnya bangunan megah yang kuat unsur arsitektur India, Tiongkok, Timur Tengah, Eropa dan Melayu.
"Masjid dibangun Sultan Deli ke tujuh, Sultan Osman Perkasa Alam. Awalnya hanya rumah panggung dari kayu seukuran 16 kali 16 meter. Tujuan didirikan masjid untuk mengumpulkan umat Islam, suku Melayu, dan sebagai tempat pertemuan sultan dengan rakyatnya,” Menurut Ketua Pengurus Masjid Ahmad Fahruni.

Mulai tahun 1870 sampai 1872 Di masa Sultan Mahmud masjid mengalami banyak perombakan. Mulai ukuran dan luas, desain bangunan, sampai bahan bangunan. Meski berkali-kali mengalami pemugaran, namun keaslian arsitekturnya tetap dipertahankan.
Masjid Al Osmani ini , dipengauhi oleh arsitektur dari beberapa negara. Pada pintu masjid menggunakan ornamen Tiongkok, ukiran di setiap bangunan bernuansa India, arsitekturnya ala Eropa, ornamen-ornamennya bernafaskan Timur Tengah. Kubah tembaga bersegi delapan berumur seabad lebih mengikuti gaya India, beratnya mencapai 2,5 ton.
"Ada tujuh kali direnovasi. Dominasi warna kuning keemasan karena ini warna kebanggaan Suku Melayu. Artinya megah dan mulia. Dipadu hijau yang filosofinya ke-Islaman dan kemakmuran," ucap Fahruni.
Dijelaskan oleh Fahruni, pria yang sehari-hari mengajar Agama Islam di sekolah milik Yayasan Pendidikan Islam yang bangunannya tepat di seberang masjid, mengatakan bahwa istana Kesultanan Deli dulunya berada di depan masjid. Kemudian bergeser menuju tengah kota dengan mendirikan Istana Maimun. Warna, kubah hitam, corak dan ornamen Istana Maimun adalah duplikat dari Masjid Al Osmani.
Setelah kerajaan tak ada lagi, masjid seluas dua hektar itu berfungsi sebagai rumah ibadah, tempat memperingati perayaan besar keagamaan dan tempat pemberangkatan menuju pemondokan jamaah haji asal Medan utara.
Masjid yang pada tahun 2016 ini ditetapkan sebagai cagar budaya Kota Medan, bisa menampung sampai dengan 1000 orang. Sebagai saksi bisu sejarah, di halaman depan dan samping masjid berdiam pusara keluarga kesultanan.
Lima Raja Deli yaitu Tuanku Panglima Pasutan (Raja Deli IV), Tuanku Panglima Gandar Wahid (Raja Deli V), Sulthan Amaluddin Perkasa Alam (Raja Deli VI), Sultan Osman Perkasa Alam, dan Sultan Mahmud Perkasa Alam, pun dikuburkan di sini. Termasuk salah satunya makam permaisuri dari kesultanan Malaysia.
"Tapi tak hanya kuburan keluarga kesultanan, masyarakat umum juga dikuburkan di sini," ungkapnya.
Jika memasuki bulan Ramadhan, masjid menyediakan penganan khas Melayu untuk hidangan utama berbuka puasa. Namanya bubur pedas,  lanjutnya.

"Ini makanan khas Melayu, dulu selama puasa kita sajikan setiap hari. Sekarang setiap Kamis saja. Waktu berbuka dan salat kita pukul bedug yang umurnya hampir seratus tahun. Kalau Ramadhan, suara bedugnya kita keraskan supaya warga mendengarnya," katanya mengakhiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar